GLOBAL SULTRA.COM. Buton, – Ketika masih duduk di bangku sekolah di Pulau Buton, saya termasuk murid yang sering kali dianggap nakal. Guru-guru saya sudah hafal, selalu punya cerita bolos, bahkan ada guru yang terang-terangan membenci saya karena sikap yang dianggap sulit diatur. Matematika, misalnya, adalah pelajaran yang benar-benar membuat saya merasa tersiksa. Bahkan bukan sekali dua kali saya harus tidur di bawah pohon demi menghindari kelas tersebut. Saya tidak hanya gagal memahaminya, tetapi sering menghindar agar tidak berhadapan langsung dengan pelajaran itu. Label “bodoh” atau “nakal” begitu mudah melekat.
Namun, siapa sangka, di usia belasan tahun saya sudah dipercaya menjadi guru di sebuah Playgroup dan TK di Jakarta dengan kurikulum standar internasional. Saat itu, saya menyadari sesuatu yang penting: ternyata kemampuan saya bukan di angka-angka atau rumus yang rumit, melainkan di kemampuan berinteraksi, menyampaikan sesuatu, dan membangun hubungan dengan anak-anak maupun orang dewasa. Tak berhenti di situ, saya bahkan dipercaya untuk menjadi pembicara termuda di Jakarta, dalam wadah Business Office Ministry (B.O.M.). berbicara di hadapan karyawan perusahaan para profesional yang usianya jauh di atas saya tentang spiritual quotient (SQ).
Itulah titik balik yang membuat saya sadar: keberhasilan seseorang tidak ditentukan oleh IQ semata.
IQ, EQ, dan SQ: Memahami Secara Singkat
Secara keilmuan, IQ (Intelligence Quotient) adalah ukuran kemampuan kognitif—logika, analisis, dan kemampuan akademik seseorang. Itulah yang sering dijadikan patokan utama di sekolah melalui ujian dan nilai rapor.
Namun, ada dua aspek lain yang jauh lebih menentukan kehidupan jangka panjang:
EQ (Emotional Quotient) → kemampuan memahami, mengendalikan, dan mengekspresikan emosi, serta menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain.
SQ (Spiritual Quotient) → kemampuan menemukan makna, tujuan, dan nilai dalam hidup, yang membuat seseorang bisa tetap teguh sekalipun menghadapi kesulitan.
Riset psikologi modern menunjukkan bahwa IQ hanya menyumbang sekitar 20% pada kesuksesan seseorang. Sisanya, sebagian besar ditentukan oleh EQ dan SQ.
Antara Juara Kelas dan “Anak Biasa Saja”
Saya teringat sebuah cerita nyata. Ada dua orang murid yang akhirnya sama-sama mencapai cita-cita masa kecil. Yang satu pilot dan yang lain dokter.
Yang pertama, seorang anak yang berhasil menjadi dokter. Semasa SMA dikenal cerdas luar biasa. Ia selalu juara umum, dielu-elukan guru dan teman, bahkan sering menjadi kebanggaan sekolah. Tetapi ketika sang guru bertemu kembali dengannya setelah ia sukses menjadi dokter, ia justru menunjukkan sikap yang dingin, arogan, bahkan tidak ramah. Ia seolah lupa bahwa guru itu pernah menjadi bagian penting dalam perjalanannya.
Berbeda dengan murid kedua yang menjadi pilot. Semasa sekolah, ia tidak menonjol. Biasa saja, nilai tidak spektakuler. Namun ia dikenal rendah hati, suka membantu teman, bahkan rela berutang demi mentraktir temannya yang tidak mampu. Saat akhirnya juga berhasil menjadi pilot, dan bertemu sang guru, sikap yang ia tunjukkan membuat sang guru terharu. Ia menyambut dengan hangat, penuh rasa hormat, dan membuat gurunya menitikkan air mata karena tidak menyangka, anak yang dulu tidak disanjung, justru tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter mulia.
Kisah ini menegaskan: IQ mungkin bisa menjadikan seseorang sukses secara profesi, tetapi EQ dan SQ lah yang membuat kesuksesan itu bermakna dan berharga.
Temperamen Dasar: Cermin Diri yang Perlu Dikenal
Selain IQ, EQ, dan SQ, ada satu hal lagi yang sering dilupakan: temperamen dasar. Dalam psikologi klasik, temperamen dibagi menjadi empat:
Sanguinis: periang, mudah bergaul, penuh semangat.
Kolerik: tegas, ambisius, cenderung menjadi pemimpin.
Melankolis: perfeksionis, teratur, detail, tapi sering terlalu idealis.
Plegmatis: tenang, sabar, mudah menyesuaikan diri.
Mengenal temperamen dasar diri membantu kita mengasah EQ dan SQ. Misalnya, seorang kolerik yang sadar dirinya mudah marah, bisa belajar menahan ego. Seorang melankolis bisa belajar menerima ketidaksempurnaan. Inilah bekal penting agar kita bisa membina diri menjadi pribadi yang matang.
Nasehat untuk Orang Tua: Jangan Cepat Melabeli Anak
Dari pengalaman saya, ada pesan yang ingin saya sampaikan kepada para orang tua: jangan pernah melabeli anak “bodoh” hanya karena ia tidak cemerlang dalam akademik.
Bisa jadi anak Anda tidak pandai matematika, tetapi ia memiliki empati yang tinggi, suka menolong, atau mampu memimpin. Bukankah dunia membutuhkan pemimpin yang berhati baik, bukan sekadar pintar angka?
Saya sendiri adalah contohnya. Saya dulu dibenci guru karena sering dianggap nakal, bahkan jauh dari predikat “anak pintar”. Namun pengalaman saya di usia belasan tahun mengajar di TK dengan kurikulum standar internasional, lalu berdiri di depan karyawan perusahaan sebagai pembicara, telah membuktikan bahwa setiap anak punya jalan masing-masing. Saya menemukan bakat saya dalam menulis, berbicara, dan memberi inspirasi. Sesuatu yang dulu sama sekali tidak terlihat di bangku sekolah.
Mengasah EQ dan SQ untuk Hidup yang Lebih Bermakna
Pertanyaan berikutnya: bagaimana mengasah EQ dan SQ?
Latih empati: belajar mendengar dengan tulus, bukan sekadar merespon.
Kelola emosi: jangan reaktif, biasakan jeda sebelum bereaksi.
Perkuat spiritualitas: apa pun keyakinannya, luangkan waktu untuk refleksi diri, mencari makna di balik setiap peristiwa.
Perluas pengalaman sosial: hadapi beragam orang, situasi, dan masalah agar kepekaan meningkat.merespon.
Penutup
Hidup mengajarkan saya bahwa nilai rapor bukan penentu masa depan. Anak yang dianggap bodoh hari ini bisa saja kelak berdiri di panggung sebagai pembicara, guru, atau pemimpin yang memberi manfaat.
IQ mungkin membantu kita memulai, tetapi EQ dan SQ lah yang membuat kita bisa bertahan, berkembang, dan meninggalkan jejak yang baik.
Maka, berhentilah meremehkan diri sendiri hanya karena tidak pandai dalam satu bidang. Dan berhentilah meremehkan anak hanya karena nilainya jelek. Karena, bisa jadi, dari tangan-tangan yang dianggap “biasa saja” itulah lahir pribadi-pribadi luar biasa.
𝙐𝙧𝙖𝙞𝙖𝙣𝙉𝙚𝙬𝙨
𝙋𝙚𝙣𝙪𝙡𝙞𝙨_𝙁𝙞𝙖𝙣𝙪𝙨 𝘼𝙧𝙪𝙣𝙜 (𝙆𝙤𝙤𝙧𝙙𝙞𝙣𝙖𝙩𝙤𝙧 𝙋𝙚𝙢𝙚𝙧𝙝𝙖𝙩𝙞 𝙆𝙖𝙡𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝘽𝙖𝙬𝙖𝙝 “𝙋𝙀𝙆𝘼”, 𝙆𝙚𝙩𝙪𝙖 𝘿𝙚𝙬𝙖𝙣 𝙋𝙞𝙢𝙥𝙞𝙣𝙖𝙣 𝘿𝙖𝙚𝙧𝙖𝙝 𝙎𝙪𝙡𝙩𝙧𝙖, 𝘼𝙨𝙤𝙨𝙞𝙖𝙨𝙞 𝙒𝙖𝙧𝙩𝙖𝙬𝙖𝙣 𝙄𝙣𝙩𝙚𝙧𝙣𝙖𝙨𝙞𝙤𝙣𝙖𝙡)
Komentar