oleh

DPRD Bukan Lembaga Hukum  Sengketa Tapak Kuda Sudah Final dan Mengikat Secara Yuridis

GLOBAL SULTRA.COM, 𝙎𝙪𝙡𝙖𝙬𝙚𝙨𝙞 𝙏𝙚𝙣𝙜𝙜𝙖𝙧𝙖 – Langkah DPRD Kota Kendari yang menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk “menengahi” sengketa lahan Tapak Kuda patut dikritisi secara hukum.
Sebab, di balik narasi “mediasi” dan “aspirasi masyarakat”, tindakan ini justru berpotensi mengaburkan prinsip supremasi hukum dan menyalahi batas kewenangan lembaga perwakilan daerah sebagaimana diatur oleh konstitusi dan undang-undang.

⚖️ 1. DPRD Tidak Memiliki Kewenangan Mengintervensi Putusan Pengadilan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, fungsi DPRD secara tegas terbatas pada:

Legislasi, penganggaran, dan pengawasan (Pasal 149 ayat (1)).

Tidak ada satu pun pasal yang memberi DPRD kewenangan untuk menunda, menengahi, apalagi mengintervensi pelaksanaan putusan pengadilan.
Sengketa lahan Tapak Kuda bukan urusan administratif atau politik, melainkan urusan yuridis yang sudah diputuskan secara hukum.

Dengan demikian, rapat DPRD yang menyinggung “peninjauan ulang dasar hukum eksekusi” sesungguhnya tidak memiliki dasar hukum.
Langkah itu bukan sekadar tidak etis secara kelembagaan, tetapi juga berpotensi mengganggu independensi kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh:

> Pasal 24 UUD 1945:
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Artinya, tidak satu pun lembaga politik, termasuk DPRD, boleh campur tangan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan.

📜 2. Putusan PN Kendari No. 48/Pdt.G/1993/PN.Kdi Telah Inkrah — Mengikat Secara Hukum

Fakta hukum menunjukkan bahwa putusan pengadilan mengenai lahan Tapak Kuda (KOPPERSON) telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Konsekuensinya, sesuai asas hukum res judicata pro veritate habetur, maka putusan pengadilan harus dianggap benar dan wajib dilaksanakan.

Hal ini ditegaskan dalam:

Pasal 1917 KUHPerdata

Pasal 195 ayat (1) HIR

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 442 K/Sip/1973

> Artinya: tidak ada lembaga negara, termasuk DPRD, yang dapat membatalkan atau menunda pelaksanaan putusan pengadilan yang telah inkrah.

Baca Juga:  Patroli Ops Ketupat Anoa 2024 Tingkatkan Keamanan di Pasar dan Mal Kendari

Dengan demikian, pernyataan DPRD tentang “peninjauan ulang dasar hukum eksekusi” adalah keliru secara yuridis.
Pengadilan Negeri Kendari tidak berkewajiban hadir untuk ‘mendengar DPRD’, sebab lembaga kehakiman tidak tunduk pada fungsi politik DPRD.

⚖️ 3. Pernyataan Fianus Arung, Kuasa Khusus KOPPERSON: Hukum Adalah Pijakan, Bukan Alat Kepentingan

Sebagai Kuasa Khusus KOPPERSON, saya, Fianus Arung, menegaskan bahwa perjuangan kami tidak dilandasi ambisi pribadi, tetapi penegakan hak hukum yang sah berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Kami memahami bahwa setiap langkah hukum harus berpijak pada dasar yang jelas — bukan pada kepentingan sesaat, tekanan massa, atau tafsir politik.
Sesuai Pasal 1792 dan 1796 KUHPerdata,Kepenting kuasa khusus hanya dapat bertindak sebatas kewenangan yang diberikan oleh pihak pemberi kuasa secara sah.
Dalam hal ini, seluruh tindakan kami memiliki dasar mandat resmi dari pengurus koperasi yang sah dan terdaftar, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, khususnya Pasal 35 yang menegaskan tanggung jawab pengurus atas tindakan hukum koperasi berdasarkan keputusan rapat anggota.

Kami tidak bertindak di luar mandat, tidak mengklaim secara pribadi, dan tidak mencari keuntungan di atas penderitaan masyarakat.
Namun kami juga mengingatkan bahwa hak hukum koperasi tidak boleh diganggu, dihambat, atau dikesampingkan hanya karena tekanan opini atau kepentingan politik.

> “Secara pribadi saya pun aktif dalam membantu permasalahan warga dalam wadah pemerhati kalangan bawah PEKA. Namun sebelum melangkah, kami tidak sembarangan — setiap langkah harus melalui analisa kasus, kajian hukum, dan evaluasi fakta lapangan. Jangan sampai kita niat membela tapi berdiri di tempat yang salah. Dalam kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap, tidak ada satu pun pihak yang dapat mengintervensi, bahkan presiden sekalipun.”

Baca Juga:  Akademisi Papua Apresiasi Kinerja Satgas Ops Damai Cartenz Dalam Menangani Aksi KKB

Pernyataan ini bukan sekadar pendapat moral, melainkan peringatan hukum.
Sebab menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan.
Dan dalam negara hukum, putusan pengadilan yang sudah inkrah bersifat final dan wajib dilaksanakan tanpa kecuali.


🏛️ 4. RDP DPRD Tidak Dapat Mengubah Status Hukum Tanah atau Menjadi Dasar Penundaan Eksekusi

Perlu dipahami, putusan pengadilan adalah sumber hukum, sementara RDP hanyalah forum politik aspiratif.
Hasil RDP, sekalipun disebut “rekomendasi”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pengadilan, kejaksaan, maupun BPN.

Hal ini ditegaskan oleh:

PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tata Tertib DPRD, Pasal 106 ayat (1):

> “Rekomendasi DPRD bersifat saran dan tidak mengikat secara hukum.”

Artinya, tidak boleh ada rekomendasi DPRD yang menghambat pelaksanaan eksekusi pengadilan.
Jika rekomendasi semacam itu digunakan untuk menunda pelaksanaan hukum, maka tindakan itu melanggar asas due process of law dan dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran wewenang (detournement de pouvoir).


⚔️ 5. Realita Lapangan: Sengketa Tapak Kuda Sudah Diselesaikan Melalui Mekanisme Hukum Resmi

Dalam konteks sengketa Tapak Kuda, Koperasi KOPPERSON sudah melalui seluruh jalur hukum — mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding, hingga putusan inkrah.
Putusan itu telah menegaskan status hukum lahan sebagai objek milik sah Koperasi.

Sehingga, ketika ada pihak-pihak yang kembali mempersoalkan atau meminta “peninjauan politik” terhadap eksekusi, maka langkah itu bukan upaya hukum, melainkan upaya menghambat hukum.

Dan jika ada anggota DPRD atau pihak lain yang ikut mendorong penundaan pelaksanaan putusan, maka tindakan itu bisa dianggap sebagai:

Baca Juga:  Sosialisasi Penggunaan Barang Milik Daerah Diikuti Seluruh Bendahara Kecamatan dan Kelurahan Se Kabupaten Konut

> Pelanggaran terhadap asas supremasi hukum (rule of law)
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.


📢 6. Fakta Hukum: Perlindungan Pers dan Hak Informasi

Sementara DPRD menyoroti pemberitaan media yang dianggap “memicu keresahan,” perlu ditegaskan bahwa pers justru dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

> Pasal 18 ayat (1) UU Pers:
“Setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan kemerdekaan pers dipidana paling lama 2 tahun atau denda Rp 500 juta.”

Artinya, langkah pihak-pihak tertentu yang mencoba membungkam media yang mengungkap fakta hukum dalam kasus ini juga berpotensi melanggar UU Pers.


🔎 Kesimpulan Investigatif

Rapat DPRD yang menyoroti rencana eksekusi lahan Tapak Kuda:

1. Tidak memiliki dasar hukum untuk menunda atau menilai putusan pengadilan yang telah inkrah.

2. Bertentangan dengan asas independensi peradilan (Pasal 24 UUD 1945).

3. Rekomendasi DPRD tidak mengikat secara hukum (PP 12/2018).

4. Kuasa Khusus KOPERSON (Fianus Arung) bertindak berdasarkan mandat hukum sah dan menegakkan keputusan pengadilan.

5. Tidak ada satu pun pihak, bahkan presiden sekalipun, yang dapat membatalkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Jika DPRD sungguh ingin berpihak pada keadilan, maka jalan yang benar bukan menengahi putusan hukum, tetapi mengawasi agar pelaksanaan hukum berjalan tertib, adil, dan bebas dari tekanan politik maupun kepentingan pribadi.

“Saya Fianus Arung tidak henti-hentinya menyampaikan pada siapapun pihak yang sadar akan hukum untuk segera temui kami jika ingin diskusi mediasi. Hati-hati dengan keinginan menghalangi, sebab kami pastikan akan berhadapan dengan hukum dan pasti diproses hukum” Tutup Fianus Arung.(Redaksi)

.

Komentar