Isu Tambang PT TMS Dinilai Sarat Opini, Tuduhan ke Istri Gubernur Sultra Upaya Pembunuhan Karakter

News122 views

GLOBAL SULTRA.COM.KENDARI, – Pemberitaan terkait sanksi administrasi dan kebijakan merumahkan karyawan oleh PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) menuai tanggapan kritis dari sejumlah kalangan. Mereka menilai narasi yang dibangun dalam pemberitaan tersebut cenderung mengarah pada opini sepihak, bahkan berpotensi menjadi pembunuhan karakter terhadap istri Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra).

Penyebutan frasa “tambang nikel milik istri Gubernur Sultra” dinilai tidak memiliki dasar yuridis yang jelas. Jika kepemilikan saham atau keterlibatan Arinta istri Gubernur Sultra ASR dalam PT TMS tidak dibuktikan secara hukum, maka pengaitan status first lady dengan aktivitas korporasi berpotensi menjadi fitnah dan pelanggaran etika jurnalistik.

“Jika memang terbukti secara yuridis bahwa Arinta secara pribadi memiliki tambang, maka itu adalah kapasitas pribadi, bukan sebagai first lady. Namun jika tidak ada bukti hukum, maka penyebutan tersebut adalah pembunuhan karakter,” ujar Akril, Sekretrais Jenderal Visioner Indonesia, Selasa, (16/12/2025).

Baca Juga:  Anak Korban KMP Tunu Pratama Jaya Dapat Beasiswa hingga SMA

Terkait kebijakan perusahaan merumahkan karyawan, sejumlah pihak menegaskan bahwa langkah tersebut merupakan hak manajemen perusahaan sebagai konsekuensi dari kondisi operasional.

Kebijakan merumahkan pekerja tidak dapat serta-merta dikaitkan dengan tuduhan “puas merusak lingkungan”, sebab terdapat sebab-akibat yang bersifat bisnis, termasuk menipisnya cadangan nikel dan menunggu persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2026.

Selain itu, penggunaan diksi “puas merusak lingkungan hidup” juga dipersoalkan. Hingga saat ini, sanksi yang dijatuhkan kepada PT TMS oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) bersifat administratif, bukan putusan pidana yang menyatakan adanya kejahatan lingkungan hidup. Dengan demikian, klaim kerusakan lingkungan masih berada dalam ranah administratif dan tidak diputuskan sebagai tindak pidana oleh pengadilan.

Baca Juga:  Sosialisasi Penerimaan Anggota Polri di Pulau Tomia, Wakatobi: Upaya Polda Sultra Menjangkau Wilayah Kepulauan

Mengenai penyegelan kawasan hutan lindung seluas 172 hektare di wilayah IUP PT TMS, sumber tersebut menegaskan bahwa persoalan tersebut telah diselesaikan melalui mekanisme sanksi administrasi berupa denda. PT TMS bahkan telah membayar Rp500 miliar dari total kewajiban sekitar Rp2 triliun.

“Pembayaran denda Rp500 miliar menunjukkan bahwa secara de facto dan yuridis perusahaan patuh terhadap mekanisme hukum yang ditetapkan negara. Oleh karena itu, isu penegelan yang telah disanksi tidak semestinya terus diwacanakan seolah-olah masih menjadi pelanggaran aktif,” tegasnya.

Lebih lanjut, kebijakan ketenagakerjaan, termasuk merumahkan karyawan dengan tetap memberikan 80 persen upah pokok, disebut sebagai urusan internal perusahaan atau dapur perusahaan. Negara hanya berwenang memastikan hak normatif pekerja dipenuhi, bukan mengintervensi kebijakan bisnis yang sah.

Baca Juga:  Kearifan Masyarakat Bali Sejalan Dengan Semangat World Water Forum ke-10

Sejumlah pihak menilai pemberitaan yang berkembang lebih menyerupai opini personal dengan pola desain isu tertentu, ketimbang laporan faktual yang berimbang.

Oleh karena itu, mereka mendorong agar persoalan ini ditempatkan secara proporsional sebagai isu hukum dan administrasi, bukan dikonstruksi menjadi serangan personal atau politisasi keluarga pejabat publik.

“Jika ada dugaan pelanggaran hukum lain, silakan ditempuh melalui jalur hukum yang sah. Namun membangun opini sesat yang mencampur adukkan status keluarga pejabat, kebijakan perusahaan, dan sanksi administratif adalah praktik yang menyesatkan publik,” pungkasnya.

(Redaksi Global Sultra)

.

Komentar