GLOBAL SULTRA.COM.Kendari, — Keputusan Pengadilan Negeri (PN) Kendari yang menetapkan status non-executable terhadap objek perkara milik Koperasi Perikanan dan Perempangan Saonanto (KOPPERSON) menuai kritik tajam. Kuasa khusus KOPPERSON, Fianus Arung, menilai langkah PN Kendari tersebut tidak memenuhi syarat hukum dan bertentangan dengan prinsip dasar eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Menurut Fianus, penetapan non-executable tidak memiliki dasar hukum eksplisit dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, baik dalam Herzien Indonesisch Reglement (HIR) maupun Reglement Buitengewesten (RBg).
> “Pasal 195 dan Pasal 196 HIR dengan tegas menyebutkan bahwa Ketua Pengadilan Negeri wajib melaksanakan eksekusi terhadap putusan yang sudah inkrah. Tidak ada satu pasal pun yang memberi kewenangan kepada Ketua PN untuk menyatakan putusan itu tidak dapat dieksekusi,” tegas Fianus Arung di Kendari, Senin (11/11/2025).
Ia menambahkan, objek perkara KOPPERSON telah jelas secara hukum dan diakui oleh instansi berwenang sejak awal. Oleh karena itu, tindakan PN Kendari yang mengeluarkan penetapan non-executable dinilai sebagai bentuk pengabaian terhadap asas “res judicata pro veritate habetur” — bahwa setiap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap harus dianggap benar dan wajib dilaksanakan.
Dasar Hukum yang Diabaikan
Dalam ketentuan Pasal 195 HIR / Pasal 206 RBg ditegaskan:
> “Apabila pihak yang kalah tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat memohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama.”
Sementara Pasal 196 HIR / Pasal 207 RBg menyebutkan:
> “Ketua Pengadilan Negeri berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.”
Fianus menegaskan, kedua pasal tersebut tidak memberikan celah hukum bagi Ketua Pengadilan Negeri untuk menolak pelaksanaan eksekusi terhadap putusan yang sudah inkrah.
> “PN tidak memiliki diskresi untuk menyatakan non-executable terhadap putusan yang sah dan memiliki objek yang jelas. Kewenangan PN hanya bersifat melaksanakan, bukan menilai kembali isi atau kondisi objek putusan,” tegasnya.
Yurisprudensi Mahkamah Agung Menguatkan
Fianus juga mengutip dua yurisprudensi penting Mahkamah Agung (MA) yang menegaskan kewajiban pengadilan negeri untuk melaksanakan putusan yang sudah inkrah:
1. Putusan MA No. 3051 K/Pdt/1984:
“Ketua Pengadilan Negeri tidak berwenang menolak permohonan eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan alasan objeknya berubah, sebab hal tersebut merupakan permasalahan pelaksanaan, bukan penilaian terhadap isi putusan.”
2. Putusan MA No. 390 K/Sip/1971:
“Selama putusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan amar putusan masih dapat dilaksanakan, Ketua PN wajib melaksanakan eksekusi.”
“Yurisprudensi MA ini jelas. Tindakan PN Kendari menetapkan non-executable sama saja dengan melawan prinsip dasar eksekusi putusan pengadilan. Itu bukan lagi diskresi, tetapi penyimpangan hukum,” tegas Fianus.
KOPPERSON Ingatkan Pihak Kalah: Hormati Legalitas
Dalam keterangannya, Fianus juga mengingatkan pihak-pihak yang kalah dalam perkara tersebut agar menghormati hasil putusan dan menempuh jalur hukum yang sah.
> “Pihak kalah seharusnya menempuh langkah hukum formal, bukan malah melakukan upaya mengacaukan pelaksanaan eksekusi yang sah. Legalitas harus dijaga, bukan diganggu dengan alasan administratif yang tidak memiliki dasar hukum,” ujarnya.
Ia menilai, penetapan non-executable oleh PN Kendari justru berpotensi menimbulkan kekacauan hukum di masyarakat dan melemahkan wibawa peradilan.
Langkah Hukum yang Akan Ditempuh
KOPPERSON melalui tim hukumnya tengah menyiapkan dua langkah hukum strategis:
1. Gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata); dan
2. Pelaporan resmi ke Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) serta Komisi Yudisial (KY), karena tindakan PN Kendari diduga melanggar disiplin yudisial dengan menunda pelaksanaan putusan inkrah tanpa dasar hukum yang sah.
“Kami akan menggunakan seluruh instrumen hukum yang tersedia. Ini bukan hanya soal hak KOPPERSON, tapi juga tentang menjaga marwah hukum dan keadilan,” tutup Fianus Arung.
Tiga Perlawanan Telah Ditolak: Bukti Objek KOPPERSON Sah dan Jelas
Lebih lanjut, Fianus mengungkapkan bahwa sebelum keluarnya penetapan non-executable oleh PN Kendari, sejumlah pihak telah mengajukan perlawanan hukum (verzet) terhadap proses eksekusi objek milik KOPPERSON.
> “Faktanya, sudah ada tiga perlawanan resmi yang semuanya ditolak oleh pengadilan. Ini bukti nyata bahwa objek KOPPERSON jelas, sah, dan tidak dapat diganggu gugat,” jelasnya.
Tiga perlawanan tersebut adalah:
1. Perlawanan Drs. La Ata (2017) hamparan tengah dengan amar putusan nomor 16/Pdt.Plw/2017/PN.KDI. “Menolak perlawanan pelawan untuk seluruhnya. Menghukum pelawan untuk membayar biaya perkara. Hal ini menegaskan bahwa objek eksekusi KOPPERSON sah secara hukum;
2. Perlawanan H. Amiruddin Cs, termasuk yang melibatkan hamparan lahan Rumah Sakit Aliah, PT. Askon dan gudang Avian dengan amar putusan nomor 13/Pdt.plw/2017/PN.KDI ditolak dan para pelawan dihukum membayar biaya perkara;
3. Perlawanan Husein Awad /Hotel Zahrah, dengan amar putusan nomor 80/Pdt.Bth/2018/PN.KDI ditolak dan dihukum membayar biaya perkara.
“Semua perlawanan itu telah jelas dan berkekuatan hukum tetap. Tidak ada upaya hukum lagi yang dapat dilakukan. Jadi, bagaimana mungkin sekarang muncul pihak baru seolah menjadi penyelamat hukum?” kata Fianus.
Ia menilai kemunculan kuasa hukum baru dari pihak Hotel Zahra yang seolah menjadi pahlawan dalam sengketa ini hanyalah upaya menyesatkan opini publik.
> “Keluarnya penetapan non-executable bukan karena upaya hukum yang benar yang dilakukan kuasa hukum baru itu. Justru sebaliknya, syarat-syarat untuk menetapkan non-executable tidak terpenuhi,” tegasnya.
Tidak Ada Celah Intervensi terhadap Kewenangan Yudisial
Fianus menjelaskan, tidak ada satu pun praktisi hukum, termasuk advokat atau pihak luar, dan termasuk kuasa hukum para kelompok yang punya kepentingan di atas lahan HGU KOPPERSON yang berwenang mengintervensi pengadilan untuk:
1. Mengeluarkan penetapan sita eksekusi; atau
2. Mengeluarkan penetapan non-executable,
karena kedua tindakan tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan yudisial murni yang hanya dapat dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 195–196 HIR.
Namun ironis, sebab praktik yang dilakukan hari ini oleh Ketua PN yang baru menjabat beberapa jam, telah mencederai supremasi hukum.
> “Tidak ada celah hukum untuk intervensi pihak luar dalam proses penetapan eksekusi. Jika ada pihak yang berperan di balik keluarnya penetapan non-executable, maka hal itu jelas melanggar asas independensi kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” jelas Fianus.
—
Penutup
Dengan demikian, seluruh proses hukum yang pernah ditempuh—mulai dari eksekusi, perlawanan, hingga putusan inkrah—telah secara sah dan final menetapkan objek milik KOPPERSON sebagai objek eksekusi yang jelas, sah, dan tidak lagi disengketakan.
Langkah PN Kendari yang menerbitkan penetapan non-executable tanpa dasar hukum hanya akan memperlemah kepastian hukum dan mencederai prinsip keadilan.(Redaksi)

.



Komentar